Praktis dari tahun 2002 aku meninggalkan kampungku untuk mengembara ke kota -Jogja-. Tujuanku tak lain adalah mencari puzzle-puzzle takdir untuk menyempurnakan mozaik hidup. Karena bagiku, generasi yang paling baik adalah mereka yang bisa menginspirasi generasi sesudahnya. Inspirasi dalam bentuk nasehat-nasehat tentang perjuangan hidup sang pelaku, cerita-cerita masa lalu -sejarah-, tentang nilai-nilai kehidupan, semuanya akan terus terwariskan dari generasi ke generasi..
Lain kampungku lain juga Jogja. Empat tahun menjadi orang Jogja, sedikit banyak kutemukan beberapa perbedaan, baik dari kehidupan sosial masyarakatnya, kultur yang berkembang, spiritualitas, sampai cara berfikir masyarakatnya. Menganalisa dua tempat ini tentu akan menjadi hal yang menarik, karena di samping membutuhkan telaah sejarah, instrumen lain yang dibutuhkan adalah penguasaan teori sosial dan budaya..
Antara Kampungku dan Jogja
Meskipun pada awalnya kultur yang dibangun di kedua tempat ini adalah kultur Islam-Jawa (Kejawen), namun pada sisi-sisi tertentu -baik kampungku maupun Jogja- sudah banyak mengalami 'perbedaan', masing-masing beralur dan berdialektika dalam proses menemukan jati diri masing-masing. Oleh karena itu, ketika akan melakukan pembacaan terhadap keduanya, hal yang harus ditemukan terlebih dahulu dan dijadikan sebagai titik perbandingan adalah 'autentisitas'.
Berbicara tentang autentisitas suatu kultur, ibaratnya kita sedang menggali sebuah harta karun. Di dalamnya tersimpan peta yang memberi petunjuk tentang keberadaan kitab-kitab kuno nan sakti. Di dalam kitab itulah sejatinya tersimpan inti dari harta karun tersebut, yaitu ajaran fundamental yang berisi tentang epistem, tata nilai, sejarah, dll.. Maka, siapa yang berhasil mendapatkan kitab tersebut, ia akan bisa secara arif membaca dan mensikapi berbagai problema tata nilai yang berkembang pada masanya.
Kampungku, yang berada di sebelah timur Jogja +-75 km, merupakan daerah yang memisahkan Kasultanan Yogyakarta dengan Kesultanan Surakarta. Menurut cerita dari Simbah-Simbah para sesepuh, kono kampungku merupakan camp para pemberontak kumpeni-kumpeni Belanda. Secara geografis, letaknya memang sangat strategis. Ia berada di tengah-tengah tiga bukit dengan lerengnya yang curam. Karenanya, area ini sering digunakan oleh para pejuang untuk bersembunyi.
Dari cerita kakekku kuketahui bahwa Islam masuk ke kampungku sekitar abad ke-16 M, dibawa oleh seorang wali yang dikenal dengan julukan Sunan Jati. Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa dan dari mana Sunan Jati berasal. Orang-orang kampungku menisbahkan nama itu ke pohon jati berdiameter 3 meter yang menjulang tinggi di sebelah utara kampung. Tak jauh dari pohon jati itu, terdapat kuburan kuno berangkakan Jawa-Arab, kuburan inilah yang oleh masyarakat kampungku diyakini sebagai Sunan Jati.
Sebagaimana tradisi keraton yang monarki-absolut, masyarakat kampungku juga masih menjaga tradisi ini dalam pemilihan kepala kampung (lurah). Silsilah yang dipilih untuk menjadi lurah kampungku haruslah mereka yang mempunyai garis darah dengan Sunan Jati (jadi bukan silsilah sembarangan..!!^,^). Lurah di kampungku agak berbeda dengan lurah daerah lain, selain tugasnya menjadi pengayom warga, ia juga diharuskan memiliki tingkat pengetahuan agama yang mumpuni. Oleh karena itu lurah kampungku selain mempunyai pengaruh yang kuat, juga memiliki karisma yang tinggi di mata warganya.
To be continued...
(Sepertinya akan menjadi catatan yang panjang...)
Lain kampungku lain juga Jogja. Empat tahun menjadi orang Jogja, sedikit banyak kutemukan beberapa perbedaan, baik dari kehidupan sosial masyarakatnya, kultur yang berkembang, spiritualitas, sampai cara berfikir masyarakatnya. Menganalisa dua tempat ini tentu akan menjadi hal yang menarik, karena di samping membutuhkan telaah sejarah, instrumen lain yang dibutuhkan adalah penguasaan teori sosial dan budaya..
Antara Kampungku dan Jogja
Meskipun pada awalnya kultur yang dibangun di kedua tempat ini adalah kultur Islam-Jawa (Kejawen), namun pada sisi-sisi tertentu -baik kampungku maupun Jogja- sudah banyak mengalami 'perbedaan', masing-masing beralur dan berdialektika dalam proses menemukan jati diri masing-masing. Oleh karena itu, ketika akan melakukan pembacaan terhadap keduanya, hal yang harus ditemukan terlebih dahulu dan dijadikan sebagai titik perbandingan adalah 'autentisitas'.
Berbicara tentang autentisitas suatu kultur, ibaratnya kita sedang menggali sebuah harta karun. Di dalamnya tersimpan peta yang memberi petunjuk tentang keberadaan kitab-kitab kuno nan sakti. Di dalam kitab itulah sejatinya tersimpan inti dari harta karun tersebut, yaitu ajaran fundamental yang berisi tentang epistem, tata nilai, sejarah, dll.. Maka, siapa yang berhasil mendapatkan kitab tersebut, ia akan bisa secara arif membaca dan mensikapi berbagai problema tata nilai yang berkembang pada masanya.
Kampungku, yang berada di sebelah timur Jogja +-75 km, merupakan daerah yang memisahkan Kasultanan Yogyakarta dengan Kesultanan Surakarta. Menurut cerita dari Simbah-Simbah para sesepuh, kono kampungku merupakan camp para pemberontak kumpeni-kumpeni Belanda. Secara geografis, letaknya memang sangat strategis. Ia berada di tengah-tengah tiga bukit dengan lerengnya yang curam. Karenanya, area ini sering digunakan oleh para pejuang untuk bersembunyi.
Dari cerita kakekku kuketahui bahwa Islam masuk ke kampungku sekitar abad ke-16 M, dibawa oleh seorang wali yang dikenal dengan julukan Sunan Jati. Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa dan dari mana Sunan Jati berasal. Orang-orang kampungku menisbahkan nama itu ke pohon jati berdiameter 3 meter yang menjulang tinggi di sebelah utara kampung. Tak jauh dari pohon jati itu, terdapat kuburan kuno berangkakan Jawa-Arab, kuburan inilah yang oleh masyarakat kampungku diyakini sebagai Sunan Jati.
Sebagaimana tradisi keraton yang monarki-absolut, masyarakat kampungku juga masih menjaga tradisi ini dalam pemilihan kepala kampung (lurah). Silsilah yang dipilih untuk menjadi lurah kampungku haruslah mereka yang mempunyai garis darah dengan Sunan Jati (jadi bukan silsilah sembarangan..!!^,^). Lurah di kampungku agak berbeda dengan lurah daerah lain, selain tugasnya menjadi pengayom warga, ia juga diharuskan memiliki tingkat pengetahuan agama yang mumpuni. Oleh karena itu lurah kampungku selain mempunyai pengaruh yang kuat, juga memiliki karisma yang tinggi di mata warganya.
To be continued...
(Sepertinya akan menjadi catatan yang panjang...)
Comments :
0 comments to “Bagaimana Tradisi Membangun Masyarakat..?? (Studi Empirisme)”
Post a Comment