Revitalisasi Pendidikan; Upaya Mewujudkan Pendidikan Berkarakter

Prolog

Prof. Dr. Yahya Muhaimin dalam Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, mengatakan: ”Indonesia dikenal memiliki karakter kuat sebelum zaman kemerdekaan, tatkala mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Sekarang, karakter masyarakat Indonesia tidak sekuat pada masa lalu, sangat rapuh. Pemimpin saat ini juga tidak menjaga pembangunan karakter dan budaya bangsa.” (Kompas.com, 15/01/2010)

Pendidikan merupakan alat utama yang berfungsi untuk membentuk dan membangun karakter bangsa. Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multi dimensi, sesuai fungsinya maka pendidikan merupakan objek yang harus ditinjau kembali. Karena rapuhnya karakter suatu bangsa, pastilah diawali dan disebabkan oleh rapuhnya pendidikan karakter di bangku-bangku akademik.

Jika menyaksikan berita-berita di media nasional, baik cetak maupun elektronik, kita bisa menyimpulkan bahwa kenyataan yang sedang dihadapi bangsa ini adalah krisis moral yang sangat memprihatinkan. Fenomena seperti kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, kerusuhan, eksploitasi, merupakan sajian 'biasa' di media-media tersebut yang bisa kita saksikan setiap hari. Bahkan sudah jamak diketahui, beberapa televisi menyajikannya secara khusus, sebut saja misalnya Buser (SCTV), Sergap (RCTI), Silet (TRANS TV), Patroli (Indosiar), dll..

Pertanyaan yang muncul setelah menyaksikan fenomena di atas adalah, "Bukankan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berpendidikan, bangsa yang beradab yang dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan?", "Bagaimanakah sistem pendidikan yang selama ini berjalan di negara ini sehingga harus melahirkan fakta yang begitu sangat mengiris hati?", "Adakah yang salah dengan sistem pendidikan kita?"

Fenomena di atas menjadi potret dari gagalnya transformasi pendidikan khususnya dalam membentuk nilai-nilai karakter kepada peserata didik dalam sistem pendidikan nasional kita. Berangkat dari fakta tersebut, pada tulisan sederhana ini, penulis ingin memberikan potret tentang wajah pendidikan nasional Indonesia, latar belakang persoalan dan beberapa sisi-sisi kelemahannya. Di akhir pembahasan, penulis mencoba menawarkan format tentang pola revitalisasi pendidikan Indonesia.

Hakekat Pendidikan dan Potret Pendidikan Nasional

Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, artinya konstitusi membebankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasionalnya kepada pemerintah. Dari sini diketahui, bahwa pemerintah menempati posisi yang sangat penting, di samping sebagai pembuat system pendidikan, ia juga berperan sebagai controlling system; agar dalam pelaksanaannya di lapangan sesuai dan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan, di samping untuk mengembangkan daya nalar kritis-kognitif, juga merupakan upaya berkelanjutan untuk membangun dan membentuk karakter. Penanaman nilai-nilai akhlak, moral dan budi pekerti sebagaimana tertuang dalam undang-undang pendidikan nasional Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 harus menjadi dasar utama dalam pola pelaksanaan dan evaluasi sistem pendidikan nasional.

"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." (pasal 3 UU. Sisdiknas thn. 2003).

Muhammad Yaumi, dalam makalahnya yang berjudul “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui Trandisiplinaritas”, menguraikan secara apik tentang perlunya upaya revitalisasi pelaksanaan pendidikan nasional dikaji melalui pendekatan sisi pengembangan dan pembentukan karakter. Ia menuliskan bahwa tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertera pada undang-undang, secara jelas telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam menopang karakter dan jati diri bangsa. Tetapi dalam penyelenggaraannya telah mengalami degradasi, yaitu terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal oleh kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan kognitif menjadi ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan dalam menempuh pendidikan. Akibatnya, tata krama, etika dan moral generasi bangsa tereduksi dalam sebuah nilai-nilai sempit cognitive oriented.

Kritik Pola Pelaksanaan Pendidikan

Ada kesan bahwa materi yang tertuang dalam buku ajar selama ini baru menyentuh aspek formal dan parsial, misalnya upacara, ritus, hukum, dan lambang-lambang. Meskipun demikian, hal tersebut harus diakui sebagai bagian yang tak terpisahkan dari nilai universal agama. Sementara itu, spirit atau ruh hukum tersebut, yaitu iman, harapan, dan kasih sayang, belum begitu disentuh. (Jawapos.co.id, 16 April 2010)

Sistem pendidikan di Barat sesudah Revolusi Prancis tahun 1784 yang berpijak pada sekularisasi (seculerisme); yaitu –berorientasi- penduniaan segala masalah kehidupan dan cita-cita kemasyarakatan, dan bersandar pada etika hedonisme; yaitu pola pelaksanaan kewajiban yang bersendi pada benda keduniaan semata-mata. Maka secara jelas menunjukkan bahwa civil society di Barat berinduk pada sekularisme, dan pola sekulerisasi dalam segala nilai-nilai kehidupan dalam masyarakatnya.

Sementara Indonesia, sebagai negara yang dibangun dengan asas dan nilai-nilai ketuhanan, seyogyanya dan merupakan suatu keharusan untuk menanamkan dan menempatkan pola pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter dan nilai-nilai universal ketuhanan. Oleh karena itu, basic view maupun starting point dalam pelaksanaan sistem pendidikan juga harus sejalan dengan nilai-nilai tersebut. Sehingga pada akhirnya pendidikan melahirkan satu tatanan masyarakat (civil society) yang kokoh dan berkarakter dengan menjunjung tinggi nilai-nilai universal.

Integralisasi Pendidikan

Fazlur Rahman dalam bukunya Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition yang semula berjudul Education and Modernity, memberikan tawaran yang apik tentang integralisasi pendidikan. Meskipun tawaran konsep tersebut diajukan untuk konsep pendidikan Islam, namun sangat tidak menutup kemungkinan gagasan apik Fazlur Rahman ini diterapkan pada skala umum dalam upaya menggagas pendidikan yang berkarakter.

Fazlur Rahman menggunakan isitilah ‘dualisme’ sebagai bentuk identifikasi permasalahan. Dualisme menurutnya adalah penggabungan model atau corak pendidikan modern umum/sekuler (modern basic value) dengan tradisional (heritage basic velue), atau dalam istilah Arab dikenal dengan istilah turâts.

Prof. Sutrisno dalam disetrasinya yang berjudul "Pendidikan Islam yang Menghidupkan; Studi Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman", menerangkan pandangan Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa dalam rangka mengatasi problem umat harus dilakukan langkah-langkah 1) identifikasi terhadap pendidikan, 2) menemukan problem pendidikan, 3) mencari rujukan pada Quran dan Sunnah, 4) memberikan alternatif solusi terhadap problem tersebut. Dalam identifikasi pendidikan ditemukan bahwa problem utama pendidikan adalah ideologis, yaitu kegagalan umat untuk mengaitkan kepentingan ilmu dan pendidikan dengan ideologi mereka. Hal ini menyebabkan peserta didik (umat pada umumnya) tidak termotivasi untuk belajar serius dalam mengembangkan ilmu. Solusinya adalah peserta didik agar menuntut dan mengembangkan ilmu dengan melakukan observasi, analisis, dan eksperimen yang bisa mengaitkan antara perkembangan ilmu dan ajaran agamanya.

Identifikasi permasalahan dalam upaya menemukan problem pendidikan sebagaimana dilakukan Fazlur Rahman, dapat kita terapkan juga untuk menemukan permasalahan penddikan di Indonesia. Identifikasi tersebut misalnya dengan melihat berbagai fenomena sosial dan moral yang terjadi di tengah masyarakat kita (kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, kerusuhan, korupsi, suap, dll.). Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan kita sesungguhnya mengalami kegagalan tranformasi nilai-nilai ideologis-karakter kepada peserta didik. Oleh karena itu, gagasan integralisasi pendidikan sangat tepat jika disodorkan pada kondisi real Indonesia yang sedang 'sakit'.
Revitalisasi Kurikulum dan Menejemen
Sampai saat ini pendidikan nasional masih terfokus pada aspek-aspek pengembangan kognitif, sedangkan aspek yang sifatnya soft skills atau non akademik yang perannya sebagai unsur utama pembentuk karakter, justru terabaikkan. Oleh karena itu, dengan melihat potret pendidikan nasional dan permasalahan utama sebagaimana tertulis di atas, maka wajib kiranya dilaksanakan revitalisasi pendidikan. Hal ini tentu bertujuan agar pendidikan nasional kembali pada track utama; yaitu pendidikan yang berorientasi pada keilmuan dan pembentukan karakter.

Adapun pola revitalisasi ini, penulis membaginya dalam dua proyek besar. Pertama, reorientasi pendidikan yang diterapkan pada kurikulum (revitalisasi kurikulum). Dan yang kedua adalah, revitalisasi menejemen dan peran pendidik.

Pertama: Revitalisasi Kurikulum.

Pada bagian ini, penulis menawarkan pemikiran Fazlur Rahman seperti tersebut di atas sebagai sebuah solusi, yaitu integralisasi pendidikan karakter dalam kurikulum dan setiap mata pelajaran.

Adapun metodenya, dari setiap mata pelajaran harus dibuat ulasan yang berisi tentang nilai-nilai moral pembentuk karakter. Sehingga setiap mata pelajaran (materi) yang disampaikan kepada peserta didik tidak kering atau tidak sebatas mengejar nilai-nilai keilmuan kognitif semata-mata.

Sedangkan penerapannya kita dapat mengambil langkah sebagaimana yang diterangkan oleh Dr. Anita Lie bahwa pendidikan karakter di sekolah haruslah diterapkan secara holistis, artinya pendidikan karakter ini tidak bisa terpisah dengan bentuk pendidikan yang sifatnya kognitif atau akademik. Misalnya dalam pelajaran biologi, siswa bisa diajak langsung menanam tumbuh-tumbuhan, diberi pemahaman tentang manfaatnya, dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan sebagainya. (edukasi.kompas.com, 5 Januari 2010)

Kedua: Revitalisasi Menejemen dan Peran Pendidik.

Pada bab III undang-undang Sisidiknas tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Dari ketetapan ini, penulis membagi point dalam upaya revitalisasi menejemen dan peran pendidik menjadi dua titik, yaitu:

1. Menejemen penerimaan pendidik.

Revitalisasi pada titik ini terkait dengan selektifitas lembaga pendidikan dalam penerimaan tenaga pengajar, dimaksudkan agar standar kualitas yang digunakan dalam penerimaan tenaga pengajar tidak rendah.

Namun untuk menuju ke arah sana, yang harus dilakukan terlebih dulu adalah penetapan kriteria yang disepakati secara nasional dalam hal penerimaan tenaga pengajar. Dengan adanya kriteria tersebut, di samping selektifitas dalam penerimaan tenaga pengajar akan lebih mudah dilakukan, juga sangat membantu pemerintah dalam monitoring kualitas pendidikan nasional.

Kekurang selektifan lembaga pendidikan yang disebabkan karena belum adanya standarisasi kualitas dalam menerima tenaga pengajar, secara langsung mempunyai pengaruh yang besar terhadap siswa. Di antaranya jika seorang guru tidak mampu menyampaikan pelajaran yang dapat ditangkap oleh siswa, atau perilaku moral yang tidak bisa dijadikan teladan oleh siswa. Hal ini tentu sangat fatal bagi perkembangan peserta didik, baik dalam hal akademis maupun mental.

2. Metodologi pengajaran.

Metode ini adalah bagaimana proses tranfer ilmu berlangsung, dimaksudkan agar pendidik tidak sebatas memberikan penjelasan dengan tujuan untuk menyelesaikan materi semata-mata, namun lebih dari itu adalah bagaimana seorang pendidik menggali nilai-nilai spiritual dan pembentukan karakter dalam pelajarannya. Meskipun sepertinya hal sepele dan mudah, namun masih banyak pengajar yang mengabaikkan hal ini.

Sebenarnya permasalahan tranfer ilmu yang diorientasikan pada pembentukan karakter di atas sudah jamak diketahui oleh para praktisi pendidikan. Meskipun sering diadakan seminar-seminar dan berbagai upaya lainnya agar metode transfer ilmu ini terimplementasikan, namun seperti hanya "hangat-hangat tahi ayam"; tidak adanya konsistensi dalam pelaksanaan.
Oleh karena itu, untuk menjaga konsistensi pendidikan dalam metode penerapan dari revitalisasi kurikulum dan metode tranfer ilmu di atas, harus dibuatkan undang-undang sekaligus konsep sistem pengawasan, agar istilah "hangat-hangat tahi ayam" tidak terjadi. Hal ini juga untuk memaksimalkan peran pemerintah dalam controlling system; agar dalam pelaksanaannya di lapangan sesuai dan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Ujian Nasional (UN); Permasalahan dan Solusinya
Disebutkan dalam pembukaan undang-undang pendidikan nasional tahun 2003 tentang pemberian amanah kepada pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia. Namun pada pelaksanaanya, ternyata terjadi inkonsistensi yang dilakukan oleh pemerintah.

Inkonsistensi ini misalnya kebijakan Ujian Nasional (UN) yang hanya menetapkan materi umum/sekuler sebagai syarat kelulusan. Dengan adanya ketetapan tersebut, maka lembaga pendidikan saling berlomba-lomba agar peserta didiknya bisa lolos UN. Dan hal ini –kenyataanya- dilakukan pemangkasan terhadap jam-jam materi agama oleh sebagian besar lembaga pendidikan. Sehingga bangku-bangku pendidikan khususnya tingkat dasar sampai atas, lebih tekonsentrasi pada mata pelajaran umum/sekuler.

Kenyataan ini tentu tidak sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU dengan orientasi pada keseimbangan keilmuan dan pengembangan karakter yang menempatkan nilai-nilai holistis ketuhanan sebagai dasar utama. Oleh karena itu, pelaksanaan UN perlu ditinjau ulang untuk dicarikan format yang lebih sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Adapun format baru tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan materi agama untuk dijadikan materi UN. Penambahan ini tentu karena materi agama merupakan nilai-nilai utama yang dijadikan sandaran moral dan berperan penting sebagai pembentuk karakter. Mengingat juga bahwa formalitas pendidikan agama termasuk salah satu upaya nyata yang harus dilakukan pemerintah sebagai bukti keseriusannya dalam menjalankan amanah konstitusi untuk membentuk dan membangun karakter bangsa.

"Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama" (UU. Sisdiknas thn. 2003, pasal 12 ayat 1)

Kemudian apakah UN masih relevan diterapkan?. Penulis berpendapat bahwa UN masih sangat relevan diterapkan, karena penghapusan UN sama halnya dengan membiarkan mutu pendidikan nasional kita kabur tanpa standarisasi. Di samping itu, UN juga merupakan satu bentuk pertanggung jawaban peserta didik terhadap proses belajar yang selama ini mereka dapatkan di bangku pendidikan.

Penutup

Melihat kondisi bangsa yang kian terpuruk dengan berbagai fenomena-fenomena moral yang terjadi, sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk merevitalisasi pola pendidikan yang berorientasi pada penanaman dan pengembangan karakter sebagaimana disebutkan dalam undang-undang. Dengan harapan, pelaksanaan revitalisasi pendidikan mampu melahirkan sumber daya manusia tangguh secara moral dan intelektual, sehingga pada akhirnya Indonesia dapat terus berdiri tegak sebagai bangsa bermartabat dan adi luhung di dunia Internasional.

Jika selama ini out put dari lembaga pendidikan adalah manusia-manusia yang miskin karakter, beragama namun tidak tahu agama (moralitas dan spiritual hancur, intelektual nol, kreatifitas mati) atau dengan kata lain tidak adanya keseimbangan antara afektif (iman), kognitif (ilmu) dan psikomotorik (amal), maka bukan suatu yang mustahil jika dalam beberapa tahun ke depan mentalitas bangsa ini adalah "selvis mentality".

Pada kesimpulannya adalah, harus ada revitalisasi pendidikan yang diorientasikan pada penyeimbangan antara iman, ilmu dan amal. Atau dengan bahasa lain, integralisasi pendidikan yang berbasis spiritual basic character dan ilmiah oriented.


*Dipresentasikan di Kedutaan Besar Republik Indonesia-Kairo untuk mengikuti konferensi pelajar Indonesia di Australia, 2010.

Kahfi N. Hidayat
Student of Politic and Islamic Law
Al Azhar University - Cairo.











Referensi

1. Yaumi, Muhammad, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui Trandisiplinaritas, [Online].
Diakses di: http://www.scribd.com/doc/25174556/Pendidikan-Budaya-dan-Karakter
[12 April 2010].

2. Zainuddin, Pendidikan Anti Terorisme, [Online].
Diakses di: http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=128190
[16 April 2010].

3. Jihad, Saiful, Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat, [Online].
Diakses di: http://saiful-jihad.blogspot.com/2009/08/viii-masyarakat-madani-dan.html
[16 April 2010].

4. Roqib, Mohammad, Pengembangan Strategi Pembelajaran, [Online].
Diakses di: http://mohroqib.blogspot.com/
[17 April 2010].

5. Soetrisno, Prof., Pendidikan Islam yang Menghidupkan; Studi Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman. [Online].
Dapat diakses di:
http://sutrisno63.blogspot.com/2008/01/prof-sutrisno-pendidikan-islam-yang.html
[21 April 2010].

6. Lie, Anita, Pendidikan Karakter Sulit Diterapkan, [Online].
http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/15/17163935/Pendidikan.Karakter.Sulit.Diterapkan
[5 Januari 2010]

7. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Thn. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, [Online].
id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_20_Tahun_2003
Read more >>