Qiyâs Dalam Hierarki Masâdiru al-Ahkâm

A. Muqadimah

Sebagai sebuah realita, berjalanya waktu dan perkembangan zaman, pasti akan memunculkan berbagai fenomena baru dalam kehidupan manusia. Tradisi dan adat-istiadat yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan kemajuan zaman, banyak memunculkan persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara eksplisit hukumnya di dalam al-Qur’an ataupun hadis Rasulullah Saw., sedangkan di satu sisi, Islam dituntut untuk selalu mampu dalam memenuhi hajat dan kebutuhan manusia.

Dengan menggunakan isu di atas sebagai orientasi untuk melakukan istiqrâ’i, maka term qiyâs menjadi satu sisi yang patut dikaji, mengingat dari awal qiyâs ini telah menjadi bahan perdebatan para ulama, baik ushuli atau-pun fuqahâ. Tinjauan al-Qur’an dan sunnah sebagai kekuatan normatif ajaran Islam, bukanlah suatu yang baku yang sudah tidak bisa diinterpretasikan, mengingat ketentuan-ketentuan tekstual yang terbatas dengan selesainya wahyu, maka konsekuensi logisnya qiyâs tidak bisa dinafikan dalam rangka menjawab persoalan umat.

Untuk memahami dan menyelesaikan isu di atas, diperlukan kearifan untuk berani menggunakan akal untuk berfikir logis dengan mengedepankan nilai-nilai Islam sebagai sebuah dasar pijakan, yang kemudian akan terwujudnya Islam yang rahmatan lil ‘âlamin.

Oleh karena itu, penulis mencoba menguraikan dalam makalah yang sederhana ini kerangka-kerangka qiyâs dalam pengambilanya sebagai hujjah syar’iyyah dan posisinya sebagai masâdiru al-tasyri’.


B. Pengertian Qiyâs

B. 1. Secara Bahasa

Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, “Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya”, artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti “menyamakan”, dikatakan “Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras”, artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.[1]

Dalam perkembanganya, kata qiyâs banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya “Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan”, artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.

B. 2. Secara Istilah

Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyâs adalah :
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.
Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.

Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi’iyyah[2] mendefinisikan qiyâs dengan :
Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”.

DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan [3]:
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Biarpun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyâs, namun mereka sepakat bahwa qiyâs adalah “al-Kasyf wa al-Idzhâr li al-Hukm” atau menyingkapkan dan menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqîs atau sesuatu yang dikiaskan, sudah mempunyai hukum yang tetap atau tsâbit, hanya saja terlambat penyingkapanya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya persamaan “illah.[4]

C. Rukun Qiyâs

Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyâs dapat dibagi menjadi empat,[5] yaitu:

a. Al-ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan),[6] juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu’[7] mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan.[8] Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

b. Hukmu al-ashli
Atau hukum asli; adalah hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam al-ashlu..

c. Al-far’u
Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.

d. Al-‘illah
Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far’u, seperti “al-iskâr”.[9]

D. Contoh Qiyâs

1. Qiyâs keharaman extasy/pil koplo/narkotika.
Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur’an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur’an surat al-Mâidah ayat 90, Allah Swt berfirman:
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyâs dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;
~ Al-Ashlu: minuman keras atau khamer
~ hukum asli: haram
~ Al-far’u: extasy
~ Al-‘illah: memabukkan,

Dari rincian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam ‘illah, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.[10]

E. Syarat Qiyâs

Dari empat rukun qiyâs yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyâs, di antaranya adalah:

1. Syarat al-Ashlu
Ulama ulhul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum) yang lain.[11]
Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyâs harusalah dibangun diatas dalil nash ataupun ijma’, hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya qiyâs yang didasarkan atas ijma’. Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyâs didasarkan dari ‘illah yang menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam ijma’, karena ijma’ tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far’u). Maka apabila tidak disebutkan al-far’u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui ‘illah qiyâs-nya.[12]

2. Syarat Hukmu al-Ashli
Terdapat beberapa syarat dalam hukmu al-ashli atau hukum asli,[13]diantaranya:
  1. Harus merupakan hukum syar’i, karena tuntutan dari qiyâs adalah untuk menjelaskan hukum syar’i pada al-maqîs atau objek qiyâs.
  2. Harus merupakan hukum syara’ yang tetap (tidak dihapus). Karena dalam penetapan hukum dari al-ashlu ke al-far’u, didasarkan dari ‘illat dalam nash syar’i. Maka apabila hukum asli dihapus, mengharuskan terhapusnya juga ‘illat yang akan digunakan dalam al-far’u.
  3. Merupakan sesuatu yang logis yang bisa ditangkap oleh akal; ‘illat hukumnya bisa diketahui oleh akal. Karena asas qiyâs di antaranya adalah: ‘illat hukumnya bisa diketahui, dapat diterapkan pada al-far’u.
Para ulama mengatakan tidak dibolehkanya qiâyas dalam masalah ta’abuddiyah (prerogatif Allah), yang ‘illah-nya manusia tidak ada kepentingan untuk mengetahuinya, seperti jumlah raka’at dalam shalat, thawaf mengelilingi ka’bah dll.[14]

3. Syarat al-Far’u
a. ‘Illat yang terdapat pada al-ashlu memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada far’u, karena seandainya terjadi perbedaan ‘illat, maka tidak bisa dilakukan penyamaan (qiyâs) dalam keduanya. Adapun qiyâs yang tidak terdapat syarat ini, dikatakan oleh para ulama sebagai qiyâs ma’a al-fâriq.
b. Tetapnya hukum asal; hukum asal tidak berubah setelah dilakuakan qiyâs.[15]
c. Tidak terdapat nash atau ijma’ pada al-far’u, yaitu berupa hukum yang menyelisihi qiyâs. Seandaiya terjadi hal ini, maka qiyâs itu dihukumi dengan qiyâs fâsid al-‘itibâr.[16]
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak sah adanya pensyaratan ‘iman’ dalam memerdekakan budak sebagai kafarat sumpah di-qiyâs-kan pada kafarat pembunuhan; karena pensyaratan itu menyelisihi keumuman nash dalam firman Allah Swt.:
Artinya:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. (Q.S. Al-Mâidah:89).
Lafadz “raqabah/budak” dalam ayat ini berbentuk mutlaq, tidak ada pensyaratan harus mu’min, berbeda dengan kafarat pembunuhan seperti firman Allah Swt.:
Artinya:
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat. (Q.S. An-Nisâ:92).
Maka qiyâs dalam kafarat sumpah atas kafarat pembunuhan adalah fâsid.

4. Syarat ‘illat

a. Sifat ‘illat hendaknya nyata; terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena ‘illat merupakan isyarat adanya hukum yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada far’u. Apabila ‘illat tidak bisa ditangkap pancaindera, maka tidak mungkin untuk bisa menunjukkan kepada suatu hukum, jadi ‘illat haruslah nyata, seperti ‘illat memabukkan dalam khamer.[17]

b. Sifat ‘illat hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada far’u, karena asas qiyas adalah adanya persamaan ‘illat antara ashlu dan far’u’.[18]

c. ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan hikmah hukum, dalam arti bahwa kuat dugaan ‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum; memelihara kehidupan manusia.[19]

d. ‘Illat tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi harus berupa sifat yang dapat diterapkan juga pada masalah-masalah lain selain dari ashlu.
Untuk hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Saw, tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Misalnya menikahi wanita lebih dari empat orang, karena ini berupa ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi Nabi Saw.[20]

F. Masâliku al-‘Illat
Adalah cara atau metode yang digunakan untuk mengetahui ‘illat, diantaranya:
  1. Nash
Dalam hal ini, kadang-kadang nash menunjukkan suatu sifat tertentu yang merupakan ‘illat dari suatu hukum. ‘Illat yang demikian dinamakan oleh ulama dengan “al-mansush ‘alaih”.[21]
Hanya saja tidak semua ‘illat ditunjukkan oleh nash secara sarahah atau jelas, terkadang hanya imâ atau berupa isyarat.
    1. Dalalah Sharahah
Adalah lafadh nash yang menunjukkan ‘illat hukum dengan jelas. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah qath’i dan kedua ialah dalalah sharahah dhanni.
a. 1. Dalalah Sarahah Qath’i.[22]
Adalah penunjuk kepada suatu ‘illat hukum yang terdapat pada lafadz secara pasti atau yakin tanpa ada unsur keragu-raguan. Bentuk lafadz pada nash ini dengan disambung dengan lâm ta’lil, seperti kata supaya tidak, sebab demikian, supaya dan lain sebagainya. Contoh, firman Allah Swt:
Artinya:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisâ: 165).
Nash di atas secara jelas menunjukkan bahwa ‘illat diutusnya Rasul adalah “Supaya tidak ada dasar bagi manusia membantah Allah”.
a. 2. Dalalah Sarahah Dzhaniyah.
Adalah penunjuk kepada suatu ‘illat hukum yang terdapat pada lafadz, tetapi ada kemungkinan bisa dibawa ke ‘illat hukum yang lain.[23] Contoh, firman Allah Swt:
Artinya:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah”. (Q.S. An-Nisâ:160).
Huruf “al-bâ” pada kata “fabidzhulamin” artinya ‘disebabkan’ dan dapat juga berarti ‘dengan’. Kedua arti di atas bisa digunakan, tetapi besar kemungkinan apabila diartikan ’dengan’, akan memperjelas arti ayat tersebut.[24]

b. Dalalah al-Imâ wa al-Isyârah
Adalah penunjuk kepada suatu ‘illat dengan nash yang tidak jelas, tetapi memberi isyarat kepada suatu ‘illat. dengan adanya qarinah padanya. Atau dengan ungkapan lain adalah petunjuk yang difahami dari sifat yang menyertainya.
 Contoh, hadis dari Nabi Saw:[25]
“Seseorang hakim tidak boleh memberi keputusan dalam keadaan ia sedang marah.” (Muttafaq ‘alaih, Bukhari Muslim).

Hadis di atas menyebutkan sifat dan hukum secara bersamaan. Penggabungan antara sifat dan hukum ini dirasakan sebagai ‘illat bagi hukum, yaitu larangan mengadili, karena disini disebutkan sifat bersamaan dengan hukum, yaitu marah.
  1. Ijma’
Metode mengetahui ‘illat melalui ijma’ maksudnya adalah ‘illat tersebut ditetapkan dengan ijma’. Seperti ijma’ ulama bahwa ‘sighar’ adalah ‘illat dikuasainya harta seorang anak kecil. Maka kasus ini menjadi qiyâs pada masalah penguasaan dalam pernikahan.[26]
  1. As-Sabru wa at-Taqsim
As-sabru wa at-taqsim adalah metode yang ketiga untuk mengetahui dan menetapkan suatu ‘illat, tetapi metode ini bukan dalil naqli dari nash ataupun ijma’, tetapi hanya istimbath.[27]
Secara bahasa, arti dari as-sabru adalah meneliti atau mencari, sedangkan at-taqsim adalah seorang mujtahid memisah-misah atau memilah-milah sifat-sifat yang dilihatnya pantas untuk menjadi ‘illat hukum.[28]
Contohnya:
”Para ulama sepakat bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yangmenerangkan ‘illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan ‘illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat enam surat an-Nisâ’ tidak dewasa dapat dijadikan ‘illat seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa sebagai ‘illat kebolehan wali mujbir untuk menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya.”

G. Pembagian Qiyâs dan Macam-macamnya
 
1. Qiyâs Aulawi
Adalah qiyâs yang ‘illat pada far’u-nya lebih kuat dari pada ‘illat pada ashlu. Maka sebenarnya hukum pada far’u lebih utama penetapan dan penerapanya dibanding ashlu.. Seperti firman Allah Swt.:
Artinya:
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’”. (Al-Isra’:23).

2. Qiyâs Musawi [29]
Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada far’u sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. ‘Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah Swt.:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ’: 10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashlu sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada far’u.

3. Qiyâs Adna
Adalah qiyâs yang tingkatan ‘illat hukum pada far’u-nya lebih rendah dari ashlu. Seperti ‘illat memabukkan yang terdapat pada nikotin; lebih rendah dari ‘illat memabukkan pada khamer.

H. Hujjiyatul Qiyâs
Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyâs sebagai hujjah adalah: petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar’i. Sedangkan artii hujjiyatul qiyâs sendiri adalah bahwa qiyâs merupakan dasar dari dasar-dasar pensyareatan dalam hukum-hukum syar’i ‘ praktis.[30]
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Tetapi mereka sepakat bahwa qiyâs bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara-perkara duniawi, sebagaimana pula mereka sepakat kehujjahan qiyâs Nabi Saw.
Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’[31]
Jumhur ‘ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:
 1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.

Dr. Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih, dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama–ulama Syi’ah, al-Nadzâm, Dzhahiriyyah dan dari sebagian ulama Mu’tazilah Irak. Hanya saja sebagian dari mereka mengatakan bahwa pelarangan ataupun penolakan terhadap hujjah qiyâs berdasarkan dari akal, dan sebagian yang lain mengatakan pelaranganya dari syar’i, namun pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang menolak adanya qiyâs.[32]

Dr. Sya’ban Muhammad Ismail dalam tahqiqnya mengatakan bahwa golongan yang pertama kali mengingkari qiyâs adalah an-Nadzhâm, kemudian diikuti oleh beberapa kelompok dari Mu’tazilah seperti Ja’far bin Harb dan Ja’far bin Habsyah dan datang yang terakhir Dawud al-Dzhairiy.[33]

Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :
1. Dalil al-Qur’an
Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 49:
“Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. [34]
Pernyataan di atas di bantah dengan:
Bahwa menggunakan qiyâs bukanlah sesuatu yang dilarang, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya, karena menggunakan qiyâs sejatinya adalah beramal dengan al-Qur’an dan sunnah, maka bukan mendahului Allah dan Rasul-Nya.[35]

Selanjutnya dalam surat al-Isra’ ayat 36, Allah berfirman :
“Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat tersebut, qiyas dilarang untuk diamalkan.
Pernyataan ini juga dibantah dengan:
 Ayat tersebut bukan merupakan larangan menggunakan qiyâs, karena menggunakan qiyâs bukanlah perkara yang dzhanni (persangkaan), bahkan qiyâs merupakan perkara yang qath’i (pasti) di tangan seorang mujtahid. Artinya diketahui secara yakin bahwa itu merupakan hukum Allah dalam suatu masalah. [36]

2. Hadis
Alasan–alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits hasan yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubâh (boleh). Apabila di qiyas-kan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.
Pernyataan di atas dijawab:
Bahwa menggunakan qiyâs bukan merupakan hukum dari mujtahid, tetapi itu adalah hukum dari Allah Swt., karena ‘illat hukum pada dasarnya berasal dari sisi Allah.[37]
Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyâs sebagai salah satu metode dalam hukum syar’i mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
1. Surat al-Hasyt ayat 59:
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.
Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyâs yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur’an memerintahkannya.[38]
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyâs adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
2. Surat al-Baqarah ayat 222:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.
Alasan jumhur ulama dari hadits Rasululah adalah riwayat dari Mu’adz Ibn Jabâl yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi. Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)”

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyâs.

Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :
“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthâb)
Dalam hadits tersebut Rasulullah meng-qiyaskan mencium istri dengan berkumur–kumur, yang keduanya sama–sama tidak membatalkan puasa.

I. Penutup

Term qiyâs yang begitu panjang dibahas oleh para ulama, pada masa sekarang ini sudah selayaknya untuk ditabrakkan langsung dengan realitas umat. Karena sesempurna apapun sebuah konsep, tetapi tanpa adanya realisasi nyata, maka hanya akan sia-sia dan kumal tersimpan sebagai sebuah literatur.

"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)

Kairo, Februari 2007.

Kahfi N. Hidayat


Daftar Pustaka
Al-Quran dan terjemahnya, PT. Syamil Cipta Media, Bandung, Indonesia. 2006
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet.4. –Jakarta: Balai Pustaka, 2005
‘Athi, Muhammad ‘Abdul, Dr., al-Maqâsid al-Syar‘iah wa Atsaruha fiy Fiqhi al-Islami, Dârul Hadîs, Kairo, 2007
‘Abd Azhab, Abdul A‘al, Dr.,Usul Fiqh al-Muyassar, al-Azhar Press, Kairo, 2007
Al-Amidy, Saifuddin Abu Hasan Ali, al-Ihkam fiy Usuli al-Ahkam, Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cet. V. 2005
Ar-Razy, Fakhruddin, al-Mahsul fiy usuli al-Fiqh, (?)
As-Syaukani, Al-Hâfidz Muhammad ‘Aly bin Muhammad, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Irsyâdu al-Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Salâm, Iskandariah, Kairo, juz. II. 2006
Al-Isnawi, Jamaluddin ‘Abdurrahim bin al-Hasan, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Nihâyatu al-Sûli fî Syarhi Minhâji’l Wushûli Ilâ ‘Ilmi’l Ushûl, Dâr Ibnu Hazm, 1999, cet. I, Beirut
Hudhari, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Dâr al-Hadist, Kairo, 2003
Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, Mu’assasah al-Risalah, Beirut, 1978
Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, Dar al-Fikr , Beirut, 1974.
Karîmah, Mahmûd, Dr., Ma’âlimu al-Syari‘ah al-Islamiyah, Umraniyah, Kairo, 2004
Zaidân, ‘Abdul Karim, Prof. Dr., al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996
Zuhaili, Wahbah, Dr., Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005
Zaidân, Shaleh, Dr., Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987





[1] Dr. Shaleh Zaidân, Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987, hal 13. Lihat juga Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal 572

[2] Dr. Shaleh Zaidân, Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987, hal. 16. Lihat juga Al-Hâfidz Muhammad ‘Aly bin Muhammad as-Syaukâni, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Irsyâdu al-Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Salâm, Iskandariah, Kairo, juz. II. 2006, hal. 577
[3] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal 574
[4] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996, hal. 195. Lihat juga Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal 574
[5] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal 576
[6] Ibid., hal. 602. Lihat juga Lihat juga Al-Hâfidz Muhammad ‘Aly bin Muhammad as-Syaukâni, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Irsyâdu al-Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Salâm, Iskandariah, Kairo, juz. II. 2006, hal. 599
[7] Lihat juga Al-Hâfidz Muhammad ‘Aly bin Muhammad as-Syaukâni, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Irsyâdu al-Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Salâm, Iskandariah, Kairo, juz. II. 2006, hal. 600
[8] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal 576
[9] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996, hal. 195
[10] Ibid., hal. 196
[11] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal 603
[12] Ibid., hal. 603
[13] Dr. Shaleh Zaidan, Al-Qiyâs,Muqarar Magister Al-Azhar
[14] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996, hal. 198
[15] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal 613
[16] Ibid., hal. 614
[17] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996, hal. 204
[18] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal 623
[19] Ibid., hal. 620
[20] Ibid., hal. 623
[21] Prof. Dr. Abdul Kadrim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996, hal. 212
[22] Ibid., hal. 212
[23] Ibid., hal. 212
[24] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal. 632
[25] Ibid., hal. 633
[26] Ibid., hal. 633
[27] Ibid., hal. 638
[28] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996, hal. 214
[29] Ibid., hal. 219
[30] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal. 577
[31] Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, Dâr al-Fikr, Beirut, 1974, hlm. 177. Lihat juga Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, Mu’assasah al-Risalah, Beirut, 1978. hlm. 234
[32] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal. 580
[33] Al-Hâfidz Muhammad ‘Aly bin Muhammad as-Syaukâni, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Irsyâdu al-Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Salâm, Iskandariah, Kairo, juz. II. 2006, hal. 583
[34] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal. 581
[35] Ibid., hal. 581
[36] Ibid., hal. 582
[37] Ibid., hal. 582
[38] Dr. Shaleh Zaidân, Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987, hal. 49

(March 24th, 2008 by almanafi)

Comments :

0 comments to “Qiyâs Dalam Hierarki Masâdiru al-Ahkâm”