Jajannya Tukang Becak..


Suatu sore ketika masih nyantri di Jogja, sehabis les aku menyempatkan diri berkunjung ke Gramedia, yang kebetulan lokasinya bersebelahan dengan tempat les. Di toko buku ini aku memiliki tempat favorit untuk membaca, tepatnya di depan kaca bagian utara sambil menghadap ke arah jalan raya. Kira-kira satu jam berdiri, tak sengaja mataku melirik kaset CD yang bergambar tukang becak dengan latar tugu Jogja.

Setelah transaksi di kasir, aku cepat-cepat mengayuh sepeda ontelku melintasi jln. Sudirman ke arah Tugu, lalu ke selatan menyeberang rel kereta dan menyusuri jalanan Malioboro, terus ke selatan memasuki area alun-alun utara Jogja, lalu ke arah barat melewati jalan besar selatan Masjid Gede hingga ke terminal Pariwisata. Dari terminal Pariwisata, aku memutuskan untuk tidak ke selatan menuju jln. S. Parman, tapi kuputar stang sepedaku ke utara menuju warnet Valcon, Wirobrajan.

Setelah memilih bilik, kukeluarkan kaset CD yang barusan aku beli. Di cover CD tertulis judul film ““Daun di atas Bantal”, a film by Christina Hakim, sutradara Garin Nugroho”.

Dengan kaset ini, selama dua jam kemudian, aku diajak berjalan-jalan oleh Christina Hakim dan Garin Nugroho ke perkampungan sekitar area Tugu Jogja.

Tak banyak kata yang bisa kukeluarkan saat aku diajak menelusuri area Tugu. Christina Hakim mencoba membuka mataku dan menunjukkan satu kenyataan yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya, yaitu sebuah siklus kehidupan kaum marginal yang ceritanya tak pernah keluar dari lingkaran kemelaratan, kelaparan dan kebodohan. Pemandangan ini luput dari pandanganku meskipun hampir empat kali seminggu aku pasti melewatinya.

Dalam dua jam itu pula aku baru menyadari di mana aku berada, bagaimana sejatinya metropolis Jogja, dan apa yang ada di balik gedung-gedung tinggi kawasan Malioboro, rumah-rumah reot pasar kembang, dan tepian sungai kali Code.

Selesai shalat di mushala warnet, kukayuh ontelku ke arah Malioboro untuk memastikan apa yang beberapa menit lalu kutonton. Dari arah selatan Malioboro, terlihat beberapa temanku sesama santri bergerombol duduk di trotoar taman kota. Beberapa di antaranya ada santriwati yang rambutnya masih tertutup jilbab. Sekedar menyapa seperlunya, aku lantas meneruskan ontelku melawan arus jalan Malioboro ke arah utara.

Di trotoar depan hotel Garuda, kurang lebih 100 meter dari Tugu Jogja ke arah selatan, kusandarkan ontelku di depan angkringan untuk menikmati beberapa bungkus nasi kucing. Sambil memperhatikan sekeliling area angkringan dan menerka-nerka latar filmnya Christina Hakim, datang seorang tukang becak yang menghampiri temannya –sesama tukang becak- yang duduk di sampingku. Merekapun terlibat pembicaraan dengan bahasa Jawa ngoko:


A: “Hoi, gimana malam ini, jadi jajan ndak...???”

B: “Jadi laah, tapi sekarang harganya naik 20 rb, soalnya barang baru...”

A: “Barang baru dari Cina atau dari Arab..??”

B: “Dari Taiwan...”

A: “Lha kok murah, jangan-jangan sudah barang rusak...??”

B: “Masih bagus kok, ndak jauh beda dari yang kemarin-kemarin..”

A: “Ooo..siip deh, nanti malem aku keparkiranmu..”


Setelah kedua tukang becak itu pergi, aku bertanya kepada nenek penjual angkringan: “Nek, barang dari Taiwan kok harganya murah-murah, itu jenis barang apa...??”


Nenek menjawab: “Jajanan sarkem Mas, harganya masih promosi...”

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un...$%$@&%*....”


Dan inilah Jogja, inilah wajah sebenarnya bangsaku, ia selalu timpang, tak pernah sadar dengan apa yang sedang membebaninya, ia kesakitan, namun tak pernah mau mengobati sakit yang menjangkitnya, ia terbungkam, namun terbungkam oleh tangannya sendiri. Dan hanya tangan Tuhan yang akan dan bisa mengurainya..

TUKANG BECAK “JAJAN” DI PASAR KEMBANG, kemiskinan dan kelaparan yang sering meraka elukan, ternyata tak separah dibanding dengan kering kerontangnya iman. Lantas pertanyaannya: “Dengan tiket apa surga akan dibeli jika iman sudah dijajakan...???????”

Penyakit yang menjangit bangsa ini ternyata jauh lebih parah dari sekedar “Inlander Mentality” dalam bahasanya Pak Amien Rais, atau “Slavish Mentality” dalam bahasanya Buya Syafi’i Ma’arif. Mungkin yang lebih tepat, apa yang dibilang oleh Cak Nun, bangsa ini sudah buta, tuli dan keclok koclok alias GILA..!!!

Setelah kurang lebih dua tahun kemudian di pertengahan 2006, Jogja diguncang gempa yang memporak-porandakan. Tak lama setelah itu di penghujung thn. 2010, Merapi mendapatkan gilirannya untuk berlaga..

Dan ke depan, bencana apapun yang terjadi di negeriku, aku tidak akan heran ataupun ragu tentang apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa terjadi, karena jawaban dan penjelasannya sudah pernah kudapatkan sendiri: “Tuhan sedang mengurai negeri ini dengan adzab-Nya...”


Cak Nun di “Negari Maiyah” setiap pengajian Padang Mbulan mengingatkan kita dengan salah satu syairnya:


“Jaman wis akhir, jaman wis akhir,

Jaman wis akhir, imane goyang, pikire muntir...”

(Jaman akhir, imannya porak poranda, sinting akalnya)

Comments :

2 comments to “Jajannya Tukang Becak..”

uzzy.cantabile said... on 

heal the world... make it better place.. for you and for me and the entire human race... T.T

kalau kata pak dosen, "Saya pernah melakukan penelitian sos di malioboro. dan salah satu hasilnya menunjukkan 'pekerjaan sampingan' spg nya adalah jd jajanan om-om yg belanja di tempat kerjanya."

btw ms, apa bedanya: adzab-ujian-musibah?

Anonymous said... on 

Aku udah ganti lagunya..hehe..

Beda donk Zyy, biasanya perbedaannya dilihat dri objeknya, kalo dia nakal berarti adzab (siksaan), kalo orang baik berarti dia diuji (ujian). Sedangkn musibah lebih umum lagi, ada kemungkinan musibah itu pada dasarnya adlh adzab, atau bisa jga kmungkinan sbg ujian..

Hehe..