Titah Tuhan dan Bahasa Takdir (1-4)

Titah Tuhan dan Bahasa Takdir



Kadipaten Kidul, Oktober 2009

Sore yang dingin, hembusan angin pantai selatan menerbangkan kupu-kupu kuning jauh sampai di pelataran Merapi. Avertebrata nan cantik ini sempoyongan melawan kuasa angin pantai selatan. Dia tak sendirian, beribu-ribu lalat hijau terseok-seok tak berdaya, bahkan beberapa kelompok dari kawanannya sudah terjerembab matang di kawah Merapi. Angin selatan tak peduli, karena dia berhembus membawa titah Tuhannya, kabar bahwa Langit sudah cukup gerah karena kepercayaan dan adat Mataram yang durhaka, karena berani menyematkan angin selatan sebagai hembusan dan bisikan peri-peri gaib jagad gelap Laut Hindia.

Di teras kontrakan, aku duduk memperhatikan tumpukan buku-buku sejarah. Lebih dari empat jam aku mengembara menembus lorong waktu, memasuki sebuah dimensi yang beralur-alur rapi. Cukup sekejap, aku bisa melompat-lompat melewati ratusan bahkan ribuan tahun titik kejadian. Setiap alurnya melukiskan gambaran yang sempurna akan wujud manusia dari setiap peradaban. Itulah sejarah dan kitab-kitab sejarah, sebuah lorong waktu yang jarang orang memasukinya.

Lelah memeras setiap kata yang termaktub di setiap lembarnya, aku menyadarkan diriku bahwa hari telah merangkak senja. Sejenak saja kualihkan pandanganku untuk menghitung tetesan air yang menetes dari langit, dan aku baru sadar bahwa angin selatan menusuk-nusuk tulangku, isyarat bahwa air dan angin akan melakukan ritual alam; Jogja hujan dengan petir yang menguntur.


***...

Sayup-sayup suara adzan Mahrib meliuk-liuk, berdesak-desakan dengan angin dan tetesan air langit. Suaranya menyelusup ke setiap lubang-lubang mili meter cendela dan atap-atap. Namun seperti halnya angin dan tetesan air langit, suara halus sang muadzin dari masjid Mataram juga membawa titah Tuhan, sebuah memorandum dari Yang Mahakuat dan Perkasa untuk makhluknya

Pulang dari masjid Mataram, aku duduk di depan monitor, mengarahkan crusor membuka-buka folder lama. Kumpulan coretan yang pernah kutulis sekitar dua tahun yang lalu, kubaca dan aku temukan kembali inilah aku.

Kuceritakan ini dan Jogja-pun lembab, menangkap sinyal-sinyal impianku....


****..


Aku dilahirkan di desa yang jauh dari kota. Besar seperti layaknya anak desa yg lain; main ke ladang, petak umpet di pinggiran kali, setelah lelah terus nyebur ke sungai-sungai yang warnanya cokelat karena lendut. Pulang main di sungai, terus pasang jebakan burung di ketinggian pohon jati.

Pulang ketika senja sudah jauh. Sampai di rumah dimarahi Bapak, namun selalu saja Emak melindungiku, “Cepat ganti baju terus berangkat ke masjid, sebelum Bapakmu ngamuk...!!.


Berangkat ke masjid dengan membawa batrei kecil, dan di leher selalu tergantung ketapel. Di manapun dan kapanpun berada, kedua benda itu selalu menemani.



Masa-masa SD-ku



Sekolahku dipilihkan oleh Emak di tempat yang lumayan jauh dari rumahku, memerlukan waktu sekitar 40 menit untuk berjalan kaki. Saat itu aku sungguh mengerti kenapa Emak memasukkanku ke sekolah yang jaraknya lebih jauh, padahal ada sekolahan yang dekat rumah, +- 10 menit berjalan kaki. Secara otomatis, akupun terpisahkan dari kawan-kawan sebaya kampungku. Dan setelah +- 18 tahun kemudian, aku baru mengerti alasan Emak..^^



Selama enam tahun di SD, terhitung ada sekitar tiga teman yang tidak mau melanjutkan sekolah karena takut dengan kelakuanku yang kelewat sadis (katanya siiy..^^). Pernah suatu ketika para guru harus berurusan dengan orang-orang kampung, karena salah satu anak kampungnya ada yang kepalanya hampir bocor terkena lemparan batu seberat +- 1 kilo dari ketinggian lima meter. “Aku kan ndak sengaja, pingin melempar kaki, eee malah kena kepala...^,^”



Pernah juga, teman sekelas yang paling cantik harus cuti satu tahun karena orang tuanya tidak ridha jika anaknya berkawan denganku. Sebagai generasi paling beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan, sepulang sekolah aku dan kawan-kawan selalu melakukan rutinitas di persimpangan jalan ke kampung masing-masing. Rutinitas itu adalah aksi saling lempar batu aspal rusak. (tuing..tuing...). Singkat cerita, 'Heni' gadis cantik dari desa sebelah terkena lemparanku tepat di atas pelipis matanya. Dan sejak saat itu, ia dilarang sekolah oleh orang tuanya, dan baru melanjutkan sekolah setahun kemudian. Rutinitas yang akhirnya menjadi ritual ini berlangsung sampai kami selesai SD^^..



Suatu hari, ketika aku kelas 4, guruku mengatakan kalau aku akan segera di’droup out’ dari sekolah ini.

“Lha kenapa Bu Guru kok saya mau dikeluarkan...???”, tanyaku pada salah satu guru di area parkir sekolahan. “Ben kapok, bocah ngengkel aee kok....!!!”, jawab Ibu guru itu dengan melototkan matanya.


Mendengar jawaban yang sangat tidak bersahabat itu, aku langsung berlari sambil teriak: “Ibu Guru assssssss*************......!!!!!”


Dan dua hari setelah percakapan kami di area parkir kemarin, tersiar kabar kalau “Honda Astrea Grand” milik Ibu Guru itu terkena musibah: spion hilang, jok sobek bergaris-garis, busi dan kabelnya lenyap, serta rodanya tak ber-pentil..^,^


******
 

Menjadi Siswa SMP


Jarak tempuh dari rumah ke sekolah sekitar dua jam (45 menit naik angkutan dan sisanya perjalanan dari rumahku ke terminal). Tiga tahun secara rutin bangun pagi pukul 05.00 subuh, ganti baju dan sarapan, lantas berangkat pukul 5.30, berjalan kaki sejauh 1 jam 10 menit...!!!


Sama seperti dulu ketika aku dipilihkan ke sekolah yang sangat jauh, padahal ada SMP yang jarak tempuhnya kurang dari 40 menit perjalanan kaki. Pertanyaanku masih sama tentang apa alasan Emak, yang kemudian kutahu ternyata alasannya berbeda ketika Emak memilihkanku SD yang jauh dan SMP yang jauh pula., nanti saja di belakang kuterangkan padamu. ^^


Selama tiga tahun di SMP, jam bermainku terkuras habis, karena hampir dipastikan, pulang dari sekolah aku langusung terkapar tidak berdaya. Biasanya sampai rumah pukul 17.00 ketika anak-anak TPA berhamburan pulang mengaji. Aku terengos-engos menahan capek berjalan satu jam lebih. Kontruksi tanah ketika pulang cenderung menanjak, jadi lebih menderita sekali dibanding berangkat..(@,@)


Sebulan menjadi siswa di sekolah rada kota, lumayan membuatku terkagum-kagum. Banyak mobil berlalu lalang dan banyak banget mainan bagus-bagus dijual di emperan sekolah. Mungkin ini sisa-sisa syndrome masa kecil yang hanya tahu main kereta tanah dan ketapel, kini ada mainan yang bisa berjalan sendiri, bahkan berbicara,,(@,@) ouuhhhh menyakitkan sekali melihatnya...!!


Dua bulan berjalan, suatu hari di saat jam istirahat aku diajak teman jalan-jalan ke pasar. Dia bilang ingin ke pabrik uang receh.


“Emang ada pabrik uang receh....??”, tanyaku sangsi. “Udah ayoo ikut saja, jangan banyak tanya...!!”, ajaknya sambil mulai mengayuh sepeda ontelnya.


Kami masuk ke tengah pasar, dan berhenti di depan kios kecil. Kulihat di dalam kios terdapat beberapa televisi dengan bentuk seperti robot. Masih menahan penasaran, aku menjaga mulutku untuk tetap diam. Temanku mulai duduk di depan televisi robot itu, dan perlahan-lahan mulai terlihat tegang. Aku hanya terdiam melihat bola warna-warni bergerak-gerak dan loncat-loncat di monitor. Dan tak lama setelah itu, terdengar suara “krucuuuukkkkk...krucuuukkkkk.....”

“Haaaaaaahhhhhh,,,,”, mataku terbelak melihat ada banyak sekali koin 100 rupiah keluar dari hidung robot itu. “Waaahhhh,, dahsyaat,, ingus robotnya duittttt....???!!!!???#@%@#!#”



******


“Sok tahu”, mungkin itu adalah salah satu sifat genetik yang aku warisi dari leluhurku (jika memang tebakanku ini benar, berarti bisa dipastikan aku adalah keturunan ahli nujum dari Dinasti Syailendra yang ‘kecerdasannya’ bisa menghitung jumlah batu yang dibutuhkan untuk membangun candi Borobudur.^^). Setelah tadi diajak temanku untuk mencari uang receh, sepulang sekolah aku tak langsung kembali ke rumah, kakiku membimbingku untuk ke kios tengah pasar.


Dengan lugu, tanpa ilmu dan tanpa pengalaman, aku memencet-mencet seperti apa yang dilakukan temanku. Namun 30 menit memencet dan memukul-mukul, keanehan terjadi,, layar mati....!!!!!!


Si penjaga heran kok bisa mati. Dalam gerutunya dalam bahasa Jawa kasar, ia mengatakan: “Jangkrik,,ding dong'’e rusak layare...!!”


OOooo..’Ding Donk’.. Sekarang aku baru tahu kalau mesin pencari uang receh ini namanya ‘DinK doNk’,, Mesin DiNk DoNk....!!! Subhanallah..(@,@)


Nama itu langsung menjadi pembicaraan hangat di desaku. Dari teman-teman sebayaku sampai anak-anak kecil SD, mereka semua membicarakan DiNk DoNk, si mesin pencari uang.


Singkat cerita, karena sering melihat orang memainkan DiNk DoNk, aku menjadi pemain yang benar-benar tangguh. Hampir bisa dipastikan, dengan modal 200 rupiah, dalam satu jam aku bisa mendapatkan 8000 - 10.000 ribu. Bahkan tidak jarang orang-orang mau menyewaku untuk memainkan mesin ajaib itu. Aku menjadi terkenal di Pasar Gede kecamatan sebagai Ksatria Dink doNk (Knight of Dink DonK!!!).


Hampir selama setahun, aku menghabiskan waktu istirahatku di sanggar DiNk doNk. Sampai akirnya tempat itu ditutup karena dianggap sebagai tempat perjudian yang paling banyak melibatkan siswa-siswa sekolah. Karena tindakan sepihak aparat kepolisian, akhirnya hilanglah mata pencaharianku dan terputuslah penghasilanku. Perlu diketahui, dari hasil bermain DiNk dOnK, hampir setiap minggu aku memborong bertumpuk-tumpuk majalah 'Kuncung, Legenda, Bobo, dan beberapa majalah lain'.. (@,@)



Titik Klimak..


Memasuki tahun 2000, koleksi majalah dan buku bacaanku di almari sudah terlalu menumpuk. Lebih dari 200-an majalah yang semuanya kudapatkan dari hasil mencari nafkah memeras keringat. Akirnya Emak berinisiatif untuk menjual majalah-majalah itu, “dikilokan saja yaaa...”, kata Emak. Akhirnya dengan beberapa perjanjian, aku merelakan hasil jerih payahku itu dijual. Lumayan, semua hasil jerih payah memeras keringatku itu menghasilhan lebih dari 400 ribu.. Heeem,,awal pertama aku merasakan memegang uang dalam jumlah besar, 400 ribu.^,^


Naik ke kelas dua SMP, aku memiliki sepeda ontel baru dengan merek VEROZA warna hitam anggur merah. Sepeda yang siang dan malam selalu tidak jauh dari tempat belajar dan tempat tidur. Aku jatuh cinta dengan sepeda hasil keringatku di DiNk doNk.


Pemirsa yang budiman, demikianlah HIKMAH BERJUDI DINK DONK..hihihihi..^,^



Bersambung...

----------------------


Lanjutan:

"Majalah 'Bobo' dan Teori Evolusi Darwin"

Comments :

0 comments to “Titah Tuhan dan Bahasa Takdir (1-4)”