Titah Tuhan dan Bahasa Takdir (20)

Adolf Hitler dan Sayap Ayam

 
Hidup selama sebulan di asrama benar-benar membuatku frustasi, bukan hanya peraturannya yang super ketat, jam pelajaran yang sangat padat, namun juga menu makan yang sangat tidak ber-prikemanusiaan; bertentangan dengan imanku, juga menginjak-injak harga diri leluhurku..!

Kawan, tentu kalian pernah mendengar slogan Adolf Hitler dalam mempropagandakan misinya: “Sebarkan kebohongan dan ulang-ulanglah kebohongan itu, lama-lama ia akan menjadi kebenaran...!!”

Menurut tebakanku, mungkin dulu ada anak buah Hitler yang kapalnya terbawa angin dan terpontang panting di Laut Hindia, akhirnya kapal itu terdampar di Pantai Selatan Jawa, tak lama setelah terdampar, mereka ditolong oleh orang kampungku.

Sejak saat itulah kemudian slogan tadi menyebar di kampungku sebagai sebuah teori, dan lama-kelamaan semakin banyak orang kampungku yang bereksperimen dengan teori tersebut, maka semakin banyak pula kebohongan-kebohongan yang tersebar. Celakanya, sebelum kebohongan tersebut diklarifikasi, si eksperimentornya sudah keburu mati.

Berikut ini akan kusampaikan padamu kisahku tentang teori Hitler tersebut, yang karenanya aku sempat dibuat sengsara oleh seekor ayam, dan baru sembuh setelah beberapa tahun lamanya.

Kawan, tahukah kamu bahwa aku pernah trauma jika melihat ayam goreng,,??..

Dulu waktu aku kecil, suatu malam aku pernah makan bersama Kakek dan Nenek di rumahnya. Menu malam itu sangat istimewa, “ayam panggang”. Sudah menjadi kebiasaanku untuk meng-edit dan mencungkil-cungkil lauk sebelum siap dihidangkan ke meja makan, dan bisa dipastikan, nasib buruk selalu menimpa lauk yang paling enak, sehingga sebagai akibatnya, lauk-lauk tadi sudah terkelupas saat dihidangkan...^^.

Ketika sedang enak-enaknya makan, dari dapur terdengar teriakan Nenek:
“Hadoooh Gustiiiiii,,,,suwiwiiiii...suwiwiiiiiii....suwiwiiiiine ilaaaanggg..!!!”

“Suwiwi...”, tiruku lirih sambil memperhatikan daging ayam yang sedang kumakan.

Namun tiba-tiba jantungku hampir copot ketika Kakek juga ikut teriak sambil mengarahkan jarinya ke aku: “Hadoooooohhh.....iki suwiwineeeee....!!!”.

Karena kaget bercampur takut, daging suwiwi (sayap) ayam yang kupegang itu kulempar. “Jin kampret apakah yang berada di suwiwi itu...???”, batinku bertanya-tanya.

Tak lama kemudian, Nenek datang dengan membawa beberapa bunga yang dicampur dengan sedikit gula jawa dan terasi.

“Ayoo cepat dimakan, biar tidak kualat..!!”, ujar Nenek sambil menjejelkan bunga-bunga itu ke mulutku... Kawan, inilah kali pertama aku menjadi korban neo-satanisme, khurafat tingkat tinggi yang menjangkit sebagian besar masyarakat kampungku. (@,@)

Sejak malam itu, setiap kali kami makan ayam, Nenek selalu mengingatkanku agar tidak makan sedikitpun daging suwiwi, “Kalau makan daging sayap, kamu nanti kalau sudah besar akan susah cari kerja..”, terang Nenek dengan mimik muka serius.

Dan di sinilah teori Hitler tadi teruji empirisnya, cukup dengan melibatkan tiga komponen utama: aku, sang ayam, dan Nenek...^,^, teori tersebut terbukti eksis menjadi ‘imanku’ yang menutup rasionalku. Maka sejak saat itu, aku mempunyai iman baru, yaitu: “Menjauhlah dari SUWIWI agar hidupmu bahagia sentosa sepanjang masa...!! *ckckck..

---------------------

Seperti halnya sifat ilmu pengetahuan yang terus berkembang, maka teori-teorinyapun juga pasti banyak yang mengalami perkembangan, bahkan perubahan.

Setelah berjalan sekian tahun aku memegang kuat imanku itu, hari ini di depan pintu dapur ”sekolah dukun” ini aku memertanyakannya; perihal suwiwi. “Suwiwii..suwiwii.,, Di mana titik logisnya kamu bisa mengatur hidupku...?? Di mana titik nalarnya, kamu yang tergeletak tergoreng ini bisa menghalang-halangi aku untuk mendapatkan pekerjaan...??”.

Sambil kuperhatikan bentuknya yang tertelungkup dengan aroma gorengnya yang lezat, aku mentertawai diriku sendiri, “Oow,,betapa bodohnya aku selama ini...!”.

Lauk ini tidak akan pernah bisa menggaris nasibku, ia tak mempunyai kuasa sedikitpun untuk menentukan masa depan pekerjaanku..

Di saat yang sama pula, aku mengangkat topi tinggi-tinggi sebagai bentuk apresiasiku terhadap Adolf Hitler, kukatakan: “Aku yakin, teorimu tak akan lapuk dimakan waktu, Dof..” (-,-).v

Menjauh meninggalkan pintu dapur, kulambai-lambaikan kotak nasiku yang berisi SUWIWI goreng lengkap dengan sambalnya. Dan setiap kali aku mengambil makan di dapur, di pintu kamar selalu kubaca terlebih dahulu: “Menu hari ini: SAYAP + OSENG BUNCIS..!!! Dan selama 4 tahun kemudian, suwiwi menjadi lauk favoritku..^^

Inilah, satu mutiara yang pertama kali aku dapatkan dari “sekolah dukun” ini. Hal yang sangat fundamental, yang akan menjadi titik kompromi antara logika dan keimananku, warna yang akan sangat kontras ketika aku berada di tengah-tengah masyarakat kampungku, dan prinsip yang paling kupegang dalam menyelami lautan ilmu. “Tidak ada daya dan kekuatan selain dari dan milik Allah..”

Di sinilah aku mulai mengenal Muhammadiyah.....^,^


Bersambung....
------------------------------------------

Comments :

0 comments to “Titah Tuhan dan Bahasa Takdir (20)”