Pendidikan Indonesia; Ambisi Kekuasaan dan Pendidikan berbasis Kerakyatan

Indonesia dalam perjalanan sejarahnya pernah menjadi negara yang diperhitungkan dunia. Salah satu negara yang pernah mendapat julukan "Macan Asia" sekitar tahun 80-an, tetapi kini harus menerima kenyataan bahwa julukan itu sudah sudah tidak layak. Kenyataan ini tidak bisa kita pungkiri, dengan potret buram TKI kita yang disiksa di luar negeri, seakan-akan sudah menjadi hal biasa untuk dijadikan pemberitaan di TV ataupun surat kabar, baik dalam dan luar negeri. Bahkan berita adanya penyikasaan dan pembunuhan TKI di luar negeri-pun jarang sekali menjadi head line.

Dalam dua dasawarsa terakhir, bangsa Indonesia mulai kehilangan taringnya di hadapan bangsa-bangsa lain. Hal ini karena mutu manusia-manusia Indonesia tidak bisa bersaing di dunia internasional. Merosotnya sumber daya manusia Indonesia ini memunculkan berbagai pertanyaan dan analisa, diantaranya mereka yang menyorot kemerosotan ini karena sistem pendidikan yang carut marut, rezim kekuasaan dan lain sebagainya.

Otoritas Kekuasaan dan Sistem Pembodohan Rakyat

Secara arif diakui bahwa penyebab dari kemerosotan sumber daya manusia Indonesia ini adalah karena carut marutnya sistem pendidikan di Indonesia yang mengakibatkan pembodohan terhadap rakyat. Sistem pendidikan di Indonesia berganti-gati mengikuti rezim kekuasaan, sehingga terjadi kebingungan di pihak penyelenggara pendidikan untuk mengambil visi dan misi sebagai orientasi pengajaran. Ketidak jelasan visi dan misi merupakan hal yang sangat vatal, karena selain mengaburkan orientasi goal-goal yang akan diperoleh, juga visi dan misi sangat menentukan out put dari peserta didik.

Peradaban selalu dibangun di atas ilmu, itu artinya pendidikan merupakan pondasi dasar sebuah peradaban. Kekacauan yang terjadi dalam pendidikan Indonesia, bisa dijadikan taruhan dari eksistensi bangsa ini. Karena globalisasi yang masuk ke segala line keahidupan, dibutuhkan manusia-manusai yang mampu bersaing, mereka yang mempunyai SDM unggul, sedangkan manusia-manusai Indonesia tetap dalam kukungan ketidakjelasan mengikuti ambisi penguasa.

Pendidikan, secara umum menjadi tangung jawab negara. Konstitusi membebankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional kepada pemerintah. Tetapi kenyataannya, kinerja negara dalam mendukung pendidikan dasar masih sangat masih rendah. Bahkan dalam sejarah bangsa ini, negara pernah menjadi momok yang bertanggung jawab atas pembodohan terhadap rakyatnya sendiri. Dan fenomena in berlanjut sampai sekarang.

Pendidikan yang sebenarnya diorientasikan untuk mengembangkan daya nalar kritis, pernah dipasung oleh rezim yang begitu takut terhadap demokrasi demi memuruti ambisi kekuasaannya. Bahkan parahnya, sistem pendidikan seakan-akan menjadi alat para penguasa untuk memperbudak rakyatnya sendiri dengan mengontrol secara ketat materi-materi pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. "Rakyat boleh pintar tapi tidak boleh kritis", kata-kata yang pernah terucap oleh Ali Murtopo, yang begitu tiran menjadi penyokong rezim orba era 80an.

Karena itu, carut marutnya pendidikan di Indonesia, kita tidak bisa serta merta menyalahkan pengajar atau guru atau peserta didik saja. Karena secara struktural mereka berada dalam garis mandat dengan kurikulum yang dikontrol oleh rezim kekuasaan yang berlaku. Bahasan rumit ini diterjemahkan oleh rakyat secara sederhana bahwa setiap berganti menteri, ganti pula sistem pendidikannya. Ganti sistem, ganti pula kurikulum. Ganti kurikulum, ganti bahan ajar.

Banyaknya gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai, bahkan ada yang sampai roboh, para guru yang bekerja sambilan sebagai tukang ojek, gaji guru honorer yang belum diberikan walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi, ini mengisyaratkan kalau bangsa ini biarpun sudah beberapa kali terjadi pergantian pemimpin, tetap tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah pendidikan ini. Janji penguasa hanyalah janji yang tak lebih dari sekedar kebohongan sebagai bumbu penyedap.

Komersialisasi Pendidikan

Ada satu fenomena yang menarik dalam dunia pendidikan Indonesia, yaitu terjadinya komersialisasi pendidikan. Dengan mendirikan sekolah berlabel “sekolah terpadu” atau dengan label yang lain, pihak sekolah menarik biaya sekolah yang sangat tinggi. Sehingga yang bisa menyekolahkan anaknya ke sini hanyalah mereka kalangan ekonomi atas. Dan sekarang, dengan dukungan dari negara, sekolah-sekolah “ber-merk” ini sudah banyak kita jumpai di Indonesia.

Dalam hal ini, negara sebagai pihak penyelengara pendidikan, secara langsung telah ikut andil dalam menciptakan kesenjangan dalam dunia pendidikan rakyatnya. Kenyataan ini juga mengisyaratkan bahwa negara sebagai institusi penyelenggara pendidikan telah “berkhianat” terhadap rakyat. Karena jelas undang-undang dasar mengatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperolah pendidikan dan pengajaran yang sama.

Dengan demikian, berdirinya sekolah ber-merk tersebut, hak mendapatkan pendidikan yang bermutu bagi rakyat bawah hanya sekedar angan-angan saja. Meskipun tidak jarang dan bahkan banyak kita jumpai anak yang secara ekonomi tidak mampu tetapi memiliki bakat atau kecerdasan yang luar biasa. Dan mereka hanya bisa mendapatkan pendidikan di sekolah yang bangunanya sudah miring dengan fasilitas yang sangat terbatas.

Solusi

Dengan membaiknya iklim demokrasi di Indonesia, sejatinya adalah jalan lebar untuk membuat trobosan-trobosan baru dalam dunia pendidikan, seperti pemetaan sistem pendidikan Indonesia yang sekarang masih belum jelas, peningkatan kemampuan pengajar dan menejemen pengelolaan pendidikan. Hal ini di lakukan untuk lebih memberi kesempatan terhadap penyelenggara pendidikan agar lebih fokus terhadap visi dan misi sebagai orientasi pelaksanaan pendidikan. Sehingga dari sini, out put dari lembaga pendidikan bisa dinilai secara objektif.

Namun yang lebih penting adalah penyelenggaraan pendidikan berbasis kerakyatan, adalah pendidikan yang tidak komersil dengan orientasi untuk pengembangan sumber daya manusia. Atau dengan istilah lainnya adalah pendidikan yang memanusiakan manusia; pendidikan ini dilaksanakan secara merata kepada rakyat dengan menyamakan kualitas lembaga pendidikan. Langkah ini tidak bisa ditempuh kecuali adanya penambahan anggaran pendidikan dari pemerintah, sehingga tidak ada lagi sekolah yang secara kualitas dan biaya masih ber-merk.

"fallacy of retrospective determinism". Kesalahan berpikir yang hanya memahami suatu keadaan sosial sebagai kenyataan yang sudah seharusnya terjadi. Semoga bangsa Indonesia tidak memahami keterpurukan yang sekarang terjadi dalam banyak line kehidupan ini sebagai takdir Tuhan yang memang sudah digariskan...Wa'lLahu 'alam bi as-shawâb.

* Student University of Politic and Law.

(Coretan dua tahun yang lalu dalam rangka hari pendidikan..)

NB.

Teruslah berfikir untuk berubah, karena bangsa ini butuh perubahan..
Jika kita tidak mau berfikir untuk berubah untuk perubahan, maka siap-siaplah menerima kehancuran..
Ini peradaban kita, ini adalah generasi kita...
Jangan sampai peradaban kita dirusak oleh manusia-manusia picik tanpa nurani..!!!

Comments :

0 comments to “Pendidikan Indonesia; Ambisi Kekuasaan dan Pendidikan berbasis Kerakyatan”