Spektrum Moral di Kota Pelajar ‘Jogjakarta’

Berbicara tentang moral, berarti berbicara tentang sebuah nilai. Dan ketika berbicara tentang sebuah nilai, hal pertama yang harus dikaji adalah asal usul atau dasar suatu nilai tersebut dibangun (epistem). Epistem atheisme yang merupakan embrio dari nilai-nilai komunisme misalnya, akan menjadi wordview dimanapun paham ini berkembang. Artinya nilai-nilai tersebut akan melebur berbarengan dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat, dan menjadi dasar pembentuk frame berfikir dan karakter masyarakat; metamorfose dan peleburannya menjadi standar moral bagi masyarakat.


Nilai-nilai moral, dengan sifatnya yang sangat universal, menempati urutan utama dalam setiap ajaran agama dengan fungsi utamanya sebagai pembangun dan pembentuk masyarakat. Secara dinamis, nilai-nilai moral ini akan menjadi referensi utama masyarakat atau sandaran dari ukuran kelayakan dan kepantasan yang langsung dihubungkan dengan titah ketuhanan (perintah agama). Dengan demikian, jika kita menempatkan agama sebagai premis mayor dan moral sebagai premis minor, maka kesimpulannya adalah masyarakat yang beragama adalah masyarakat yang bermoral.

Namun, nilai-nilai moral yang sifatnya konstan dan abstrak tersebut, ternyata bukanlah suatu yang lepas dari pergeseran dan perubahan. Bukan hanya nilai-nilai yang dibangun atas dasar materialisme, bahkan nilai-nilai konstan agama juga mengalami pergeseran dan perubahan. Dan di poin ini-lah kita akan memberikan konsentrasi lebih; pembacaan dalam sebuah spektrum terhadap benturan dan perubahan nilai-nilai yang berada di tengah masyarakat kita, khususnya di Jogjakarta.

Jogjakarta, kota yang sangat mashur, tidak hanya di dalam negeri, bahkan sampai di luar negeri. Selain kaya akan warisan budaya dan sejarah, kota ini juga menjadi icon sebagai ‘kota pelajar’, yang menjadi daya tarik lebih bagi para pencari ilmu. Secara kultur budaya, masyarakat Jogja merupakan asimilasi dari peradaban Hindu-Islam, dan mengalami proses islamisasi sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam sampai saat ini. Dengan demikian, nilai-nilai Islam menjadi pilar utama dari pembentukan masyarakat Jogjakarta.

Meskipun mewarisi kultur kraton yang notabenenya Islam, saat ini Jogja mendapati dirinya sedang dalam masa-masa degradasi budaya, lebih tepatnya degradasi moral masyarakat dari nilai-nilai Islam yang telah ratusan tahun menjadi wajah ‘Mataram Islam’.

Sudah bukan menjadi sesuatu yang ganjil, nilai-nilai agama yang sangat dijunjung tinggi itu kini telah diinjak-injak, ditinggalkan dan pelan-pelan akan dilupakan. Spektrum dari degradasi moral yang sangat memprihatinkan ini dapat kita saksikan hampir tiap detik di kota yang menjadi icon ‘kota pelajar’ tersebut. Di Jogja, bercokol tempat yang paling menjijikkan sebagai area pengumbar nafsu-nafsu binatang ‘beragama’, Pasar Kembang.
Di kawasan teretorial ‘Mataram Islam’ tersebut, beberapa diskotoik dan tempat hiburan malam yang semuanya menjadi tempat ‘syah’ bagi kaum pencari kenikmatan sesaat; minum-minuman keras, free sex, judi dll.

Sebenarnya keadaan ini tidak menjadi persoalan serius jika berada di jantung kota Eropa atau Amerika, yang secara akar budaya mereka sebagai pemuja dan penganut paham materialisme. Tetapi Jogjakarta, adalah kota pelajar yang bisa memutih karena jilbab-jilbab pelajarnya, kota santri yang riuh reda suara TPA santri-santrinya, dan didukung oleh beberapa universitasnya, menjadi sangat paradoks dengan kenyataan yang demikian. Inilah spektrum dari paradoks yang secara umum bisa digambarkan.
Kemudian pertanyaanya “What’s exactly happening there???...Apa yang sebenarnya terjadi di Jogjakarta???...”

Jogjakarta, sebagai tujuan wisata memang sangat ramai dikunjungi oleh para wisatawan asing, baik dari Barat atau Timur. Namun dalam kasus yang kita hadapi sekarang, terlalu naïf jika kita menganggap mereka sebagai biang ‘kebobrokan’ yang saat ini melanda Jogjakarta. Jadi, tentu objek tembak yang lebih tepat untuk dibidik tidak lain adalah para penghuninya sendiri. Mereka yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap apa yang sedang terjadi di Jogjakarta, dan tentu bagi penulis, mereka adalah para pelajar, mereka adalah para santri, mereka adalah kalangan-kalangan terdidik dan berpendidikan. Merekalah yang memberikan warna Jogjakarta, baik yang sifatnya ilmiah bermartabat, sampai najis dan haram menginjak-injak moral.

Di sini, kita benar-benar menjumpai bahwa di kota pelajar tersebut sedang atau bahkan telah terjadi pergeseran nilai. Manusia-manusia berpendidikan, berdasi dan berkopiah, dan pelajar-pelajar putri yang anggun berjilbab, banyak ternyata yang telah kehilangan karakter. Mereka mengalami erosi iman dan moral yang sangat parah. Bukti konkrit dari hal ini dapat kita sebutkan, misalnya pacaran yang begitu sangat vulgar (pelukan, ciuman) sudah menjadi hal biasa dan bisa dilakukan di jala-jalan, area kampus, artinya sudah menjadi konsumsi publik yang tidak perlu orang lain peduli dan tidak perlu ditegur. Atau pergaulan bebas (sex bebas) di tempat kost yang justru warga kampung menjadi 'security' dari incaran aparat.

Hilangnya rasa malu ketika perbuatan amoralnya dikonsumsi publik, atau bahkan secara sukarela mereka publikasikan sebagai wujud pembuktian atas ke’eksistensi’-an “intelektualnya” yang “adi luhung”, adalah beberapa bukti bahwa di kota pelajar tersebut sedang mengalami pergeseran nilai, erosi iman dan moral yang cukup parah.

Padahal...

Puluhan bahkan ratusan pesantren dan lebih dari sepuluh universitas dan Sekolah Tinggi bisa kita jumpai di Jogjakarta. Bahkan tidak kurang dari empat perguruan tinggi Islam dan Sekolah Tinggi Islam berada di sana. Lembaga pendidikan tersebut berperan dalam membentuk manusia-manusia berkarakter dan berintelektual dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama. Tetapi ternyata kita menyaksikan banyak manusia-manusia dari panggung pendidikan tersebut lulus membawa ijazah namun dalam kondisi kosong iman dan miskin karakter. Mereka tak ubahnya sebagai pelacur intelektual.

Dan jika kita memberikan stresing lebih pada bagian ini, maka pertanyaanya adalah “Dimanakah posisi lembaga pendidikan?..Apa sebenarnya fungsi lembaga pendidikan tersebut?..Apa yang sebenarnya telah mereka ajarkan?..Patutkah mereka disalahkan?...

Lihatlah berapa kontrakan atau kost pelajar yang berisi minuman keras….!!!
Lihatlah berapa banyak kontrakan atau kost pelajar yang dijadikan tempat ber’mesum’ ria….!!!
Lihatlah banyaknya ‘pelajar’ di Alun-Alun Jogja (malam hari) yang sedang hanyut ditenggelamkan setan bersama ‘pasangannya’masing-masing
….!!!
Dan perhatikan bukankah sebagian mereka BERJILBAB….!!!!???

Jogjakarta MeNanTaNg Tuhan…!!!!!!

Inilah kompleksitas permasalahan yang ada di hadapan kita, seperti sebuah siklus, akan terus berputar saling berkaitan dan mengaitkan. Dan Jogjakarta, sebagai miniature Indonesia, kini sedang mengalami distorsi moral, yaitu suatu proses pemutarbalikan nilai, penentangan fakta kebenaran dari ajaran agama.,dan ini sedang terjadi di hadapan kita.

Mohon di TAG ke beberapa sahabat jika berkenan..!

Comments :

0 comments to “Spektrum Moral di Kota Pelajar ‘Jogjakarta’”