Sandimejo (Ahmad Tohari)

Usai mengantar seorang pasien ke Puskesmas Mersi, Purwokerto, Sandimeja (75 tahun) meninggal di atas becaknya. Lelaki renta itu ditemukan sudah tak bernyawa oleh rekan sesama tukang becak yang melihatnya duduk terkulai seperti orang tidur. Namun setelah diteliti ternyata Sandimeja sudah meninggal.

Ini berita kecil yang termuat dalam sebuah koran lokal Jumat pekan lalu. Dalam berita itu hanya dimuat data bahwa Sandimeja adalah warga Jalan Pancurawis, Purwokerto Kidul, serta dugaan dia meninggal karena serangan jantung. Tidak disebutkan adakah Sandimeja meninggalkan anak-istri atau cucu dan berapa jumlahnya. Tidak juga disebutkan mengapa Sandimeja yang sudah renta itu masih bekerja berat sebagai penarik becak. Ya. Warna dan watak pemberitaan itu adalah warna dan watak kita; menganggap kecil, kurang penting, dan tidak menarik kematian seorang miskin. "Sandimeja yang tua dan melarat itu meninggal di atas becaknya."

Paling-paling demikian komentar dan tanggapan kita karena kematian seoerti itu dianggap sebagai hal biasa. Bahkan mungkin ada yang bilang, "Salah Sandimeja sendiri, usia sudah setua itu masih ngoyo menjadi penarik becak."

Salah Sandimeja sendiri? Ya, kemiskinan adalah ‘kesalahannya’. Kemiskinan yang membuat dia tidak berdaya atau ketidakberdayaan yang membuatnya miskin. Terserah mau dimulai dari mana, yang jelas Sandimeja adalah bagian dari masyarakat miskin yang mewarnai kenyataan hidup masyarakat kita. Juga terserah mau diberi kategori apa; Sandimeja miskin karena struktur dan sistem ekonomi masyarakat kita atau dia miskin karena tradisi kultural yang dia terima secara turun-temurun atau gabungan antara keduanya.

Bila hendak dikatakan Sandimeja miskin karena struktur dan sistem ekonomi kita, ada benarnya. Seorang tukang becak mustahil mengembangkan daya ekonomi misalnya dengan meningkatkan intensitas produksi jasa. Mustahil juga melakukan ekstensifikasi usaha karena tidak mungkin menarik lebih dari satu becak atau menjadi juragan becak. Untuk merintis jalan menjadi juragan becak Sandimeja harus rajin menabung atau mendapat kucuran dana kredit. Namun kedua hal ini juga hampir tidak mungkin.

Mungkin juga benar Sandimeja hidup dalam budaya kemiskinan. Dia menyadari kemiskinannya tetapi bersikap kurang peduli atau sudah menerimanya sebagai suratan. Karena itu dia, juga jutaan orang miskin lain, kurang punya greget atau motivasi untuk sedikit demi sedikit memperbaiki keadaan. Sering kita melihat tukang becak merokok.

Bahkan main judi dan minum miras. Hal ini membuktikan mereka memang kurang peduli terhadap upaya perbaikan hidup. Maka sering terdengar banyolan, "Orang miskin belum tentu sedih mengenai keadaan mereka. Jadi mengapa orang lain yang repot? Ah, jangan-jangan mereka malah lebih enjoy daripada para pembela keadilan sosial."

Ini banyolan yang sangat ironis. Dan mungkin menyesatkan. Masyarakat beradab tentu ingin menghilangan kemiskinan. Memang, Kanjeng Nabi pernah mengatakan lebih mengkhawatirkan iman orang-orang kaya daripada iman orang-orang miskin. Namun secara umum tidak mungkin Islam membenarkan kemiskinan berkembang karena banyak amal kebaikan yang dianjurkan dan hanya bisa dilakukan dengan sarana harta seperti berhaji, zakat, infak, sedekah dan sebagainya. Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, "Andaikata kemiskinan berujud manusia maka dialah musuh pertama yang akan kupancung kepalanya".

Malah Kanjeng Nabi sendiri juga bersabda, "Jangan tinggalkan di belakangmu generasi yang lemah." Ironisnya di seluruh dunia masyarakat Islam, kecuali sebagian kecil penduduk Timur Tengah, terdiri atas kaum miskin bahkan sangat miskin. Kemiskinan global ini juga berakar dari dua hal, struktur dan sistem ekonomi global serta tradisi kultural masyarakat Islam sendiri. Sistem ekonomi global yang memiskinkan umat Islam berawal ketika Eropa mengambil alih kepemimpinan dalam sains dan teknologi. Mereka kemudian mengubah wajah dunia dengan revolusi industri yang mendorong lahirnya kolonialisme dan perampokan sumber daya alam bahkan harta masyarakat di Asia Afrika yang penduduknya muslim.

Kemudian lahir kapitalisme klasik yang sekarang berubah menjadi kapitalisme modern Multinational Corporation dengan menghilangkan batas-batas negara maupun bangsa. Dalam hiruk pikuk perekonomian dunia saat ini mayoritas umat hanya bisa menjadi obyek karena lemah dalam segala hal. Dalam bentuk miniaturnya obyek atau korban itu tampak dengan nyata pada sosok Sandimeja. Dia meninggal dalam usia 75 tahun hanya ditunggui kemelaratan yang diwakili becaknya.

Memang Sandimeja kini tidak lagi menderita. Mudah-mudahan dia akan bertemu dengan Kanjeng Nabi yang pernah bersabda, "Siapa yang punya telapak tangan kasar karena banyak bekerja maka dia adalah calon penghuni surga." Telapak tangan Sandimeja sangat kasar karena setiap hari bergayut pada besi kemudi becaknya. Meskipun begitu, akankah kita berpangku tangan membiarkan Sandimeja-sandimeja lain meninggal dalam sepi dan hanya ditunggui kemelaratan?

Nyatanya, begitulah yang kita lakukan selama ini. Padahal kita bisa menolong satu Sandimeja yang mungkin ada di dekat kita dengan cara misalnya, mengeluarkan zakat bulanan dari gaji atau penghasilan kita. Jadi sesungguhnya kematian Sandimeja di atas becaknya adalah tagihan kepada siapa saja yang mengaku beriman. Ada yang merasa tertagih? (RioL)

(Ahmad Tohari )

Comments :

0 comments to “Sandimejo (Ahmad Tohari)”